“Buy experiences, not things. Spending on experiences makes people happier than spending on things. Things get broken and go out style. Experiences get better every time you talk about them.” – Jean Chatzky
Apakah uang bisa membeli kebahagiaan? Jawabannya adalah tergantung bagaimana cara dan sikap Anda dalam menggunakan uang tersebut. Sebagian besar akan berpikir bahwa dengan membeli banyak barang baru dan jika seluruh keinginan terpenuhi maka kebahagiaan pun akan terpenuhi.
Katakanlah Anda sudah membeli mobil impian Anda untuk menambah koleksi mobil. Sebuah mobil canggih, mewah, dan mahal. Saat kali pertama Anda membelinya, mengendarainya dalam perjalanan pulang, Anda akan sangat bahagia. Namun, apakah Anda menjamin kebahagiaan itu akan tetap ada hingga beberapa bulan bahkan 1 tahun ke depan? Tidak. Kebanyakan akan merasa biasa-biasa saja, setelah beberapa bulan kemudian kebahagiaannya akan pudar. Selebihnya akan muncul merasa khawatir dan takut jika mobil-mobilnya akan dicuri atau memikirkan biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat mobil-mobil mewah tersebut sementara mobilnya hanya tersimpan di garasi.
Mengapa bisa demikian?
Aristoteles, seorang filsuf Yunani, membagi kebahagiaan ke dalam empat tingkatan. Laetus (kebahagiaan fisik), Felix (kebahagiaan ego), Beatitudo (kebahagiaan dari kebaikan), dan Sublime Beatitudo (kebahagiaan sempurna). Laetus dan Felix bersifat sementara, sedangkan Beatitudo dan Sublime Beatitudo bersifat abadi.
Membeli rumah, mengoleksi mobil mewah, membeli tas-tas mewah, adalah kebahagiaan fisik atau Laetus. Kebahagiaan paling dasar yang bersifat sementara dan terbatas. Itu sebabnya kebahagiaan cepat pudar setelah beberapa bulan Anda membeli mobil mewah.
Jika Anda terjebak di posisi ini—hanya memuaskan kebahagiaan fisik Anda—maka Anda akan menjalani kehidupan yang tidak bermakna. Selama Anda memiliki keinginan yang lebih banyak dan lebih banyak lagi, Anda tidak akan pernah merasa puas. Kebahagiaan yang Anda dapatkan bersifat dangkal. Setiap Anda berhasil mendapatkan sesuatu yang baru, akan timbul pertanyaan, “Selanjutnya, apa lagi yang harus dibeli?”
Para psikolog menyebut ini merupakan dampak dari ‘hedonic treadmill’. Kita bekerja keras untuk mendapatkan barang-barang baru dan tidak lama kemudian mereka menjadi hal biasa yang tidak bisa membuat kita lebih bahagia.
Rolf Dobelli menjelaskannya, “Jika Anda menginginkan hidup tenteram, sebaiknya Anda membatasi apa yang akan Anda beli. Sesungguhnya, ada hal yang kenikmatannya tidak berkurang, yaitu pengalaman.”
Ketika Anda menghabiskan uang untuk mendapatkan sebuah pengalaman yang menyenangkan, seperti jalan-jalan bersama keluarga, membaca buku, menjadi sukarelawan, mendaki gunung, pergi berselancar, otak Anda akan menciptakan kenangan yang positif yang bisa Anda ingat dan rasakan baik di dalam hati maupun di pikiran Anda. Kenangan tersebut bersifat kekal. Sampai kapan pun Anda bisa merasakannya.
Kebahagiaan memiliki mobil mewah akan hilang saat Anda mengendarainya di tengah-tengah kemacetan yang panjang dan ditemani bisingnya suara klakson pengendara lain. Berbeda dengan pengalaman, di tengah kemacetan pun Anda masih bisa merasakan kebahagiaannya. Bukankah suasana hati Anda berubah menjadi lebih baik saat Anda memikirkan pengalaman menyenangkan yang Anda dapatkan?
Dilansir laman Forbes, penelitian terbaru dari San Fransisco State University menemukan bahwa orang yang menghabiskan uang untuk pengalaman daripada barang-barang materi lebih bahagia dan merasa uang itu dihabiskan dengan baik.
Kesimpulannya, membeli pengalaman lebih baik dibandingkan membeli barang. Pengalaman bisa menambah kebahagiaan Anda dalam jangka waktu yang panjang, tetapi barang tidak bisa.